Wednesday, December 24, 2008

Natal 2008

Menjelang Natal selalu mengingatkan saya akan pengalaman Natal sebelumnya yang beraneka ragam. Saat saya masih ada di rumah Tegal, Natal dirayakan dengan makan makanan yang disebut "paste" di rumah setelah misa tengah malam selesai. "Paste" hanya dimasak setahun sekali oleh tante Marie. Rasanya enak sekali. Di dalamnya penuh dengan daging, sosis, makaroni yang ditutupi dengan kentang di bagian atasnya, dan dibakar. Kelihatannya ini peninggalan dan nostalgia tante akan jaman "netherland indie" saat beliau bergaul dengan sinyo-sinyo dan noni-noni Belanda. Natal identik dengan "paste". Sayang setelah anak-anak mulai remaja, kami lebih suka berkumpul dengan teman-teman sebaya seusai misa natal ketimbang kumpul-kumpul dengan keluarga di dalam rumah.

Di samping "paste" tentu saja Natal di rumah dipenuhi dengan kegiatan menghias pohon Natal dan membuat gua natal. Malam-malam, saya selalu menikmati kelap-kelip lampu Natal. Damai rasanya melihat lampu Natal ini.

Natal juga berarti saat setiap hari pergi ke gereja untuk latihan koor. Lima tahun saya jadi anggota koor St. Cecilia, kelompok koor paling jozz di Tegal saat itu. Menjadi salah satu penyanyi tenor, saya merasakan betapa plong hati setelah dua jam berteriak-teriak melatih nada. Natal selalu mengingatkan saya akan lagu-lagu Natal yang jadi hafal luar kepala karena lima tahun selalu berlatih dan tugas misa Natal. Saya rindu menyanyi lagu-lagu Natal dengan empat suara setiap kali saya mengikuti misa Natal setelah saya pergi dari Tegal. Kadang malah saya jengkel saat mengikuti misa Natal dan koor tidak dapat menyanyikan lagu-lagu Natal dengan sempurna.

Saat kuliah, saya selalu pulang saat Natal. Saya tidak mau tinggal di kost-kostan saat hari Natal karena saya ingin bernostalgia bersama dengan teman-teman masa kecil saya di Tegal dan tentu saja dengan keluarga. Saya kira Natal pertama di luar Tegal saya alami saat saya mulai bekerja di Jakarta. Ada perasaan sepi, sedih mengalami suasana Natal di luar habitat asal saya.

Masuk Novisiat tahun 1990, saya merasa aneh merayakan Natal bersama dengan komunitas novisiat. Saya rindu teman-teman dan keluarga saya saat Natal 1990. Tetapi Natal 1990 itu adalah natal yang paling hidup karena saya baru saja menyelesaikan retret agung, saat di mana saya bisa mengkontemplasikan peristiwa inkarnasi Tuhan dengan begitu hidup. Dia yang begitu berkuasa, ternyata mencintai saya sehabis-habisnya dengan menjelma menjadi bayi yang lemah yang dibaringkan di palungan, ditemani oleh para gembala dan binatang mereka.

Di Filsafat, Natal selalu berarti membantu misa Natal, entah menemani Romo paroki, atau hanya sekedar membantu membagi komuni. Satu kejadian menarik di Rawamangun saat saya tugas misa Natal. Seorang teman kuliah, Marcel Agung (TM 86) pindah jalur dan berusaha menerima komuni dari tangan saya. Saat saya mengatakan "Tubuh Kristus", Marcel tidak menyediakan tangannya, tetapi malah berkata, "Ndre, bar misa mengko tak enteni neng ngarepan gerbang gereja yo!" Saya kaget melihat Marcel yang sudah tidak lagi berkumis tebal, dan begitu saya mengenalinya, saya spontan langsung "misuh". Barangkali umat yang ada di samping dan belakang Marcel kaget melihat kami berdialog dengan akrab. Hehehe, Natal ternyata mempertemukan sahabat yang begitu lama tidak bertemu.

Di Siem Reap, Kamboja, saat saya menjalankan TOK (Tahun Orientasi Kerasulan), Natal tahun pertama saya lalui di kamar sederhana saya sendirian. Jujur saya sedih dan meratapi nasib. Bagaimana mungkin saya tidak bisa mengikuti misa Natal? Di Siem Reap saat itu hanya ada 8 keluarga Katolik, dan pastor datang ke Siem Reap hanya 4 bulan sekali dari Battambang. Inilah hari Natal yang paling tragis bagi saya. Tidak ada teman, tidak ada misa, tidak ada pesta. Untung di tahun kedua, Kike Figaredo SJ (sekarang uskup Battambang) datang ke Siem Reap dan kami membuat misa Natal yang meriah.

Setelah tahbisan, saat bekerja di JRS Asia Pacific, Natal selalu saya lalui di camp pengungsi. Di tahun pertama, saya merayakan misa Natal bersama pengungsi Karenni di Mae Hong Son, Thailand. Hanya sedikit pengungsi yang paham bahasa Inggris, tetapi mereka toh mengikuti Misa dengan khusuk. Gereja Burma yang sangat traditional mendesak umat untuk mengaku dosa sebelum mengikuti misa. Jadilah saya duduk di bangku pengakuan tanpa paham apapun yang dikatakan umat. Ecclesia Suplet!

Natal 2001 saya lalui di Atambua, Timor Barat bersama ribuan pengungsi di stadion Hailulik. Mencoba membaca Injil dengan bahasa Tetum, saya merasakan sungguh suasana sederhana Natal. Para pengungsi yang tidak tahu masa depan mereka, tiba-tiba berpakaian bagus untuk merayakan Natal. Yang mengesankan, setelah misa, saya dipaksa untuk minum Sopi (anggur lokal) bersama para petinggi Timor Leste.

Tahun lalu saya kembali merayakan Natal sendirian. Sebenarnya saya berjanji untuk misa dengan kelompok ten thirty. Karena ada badai salju di Chicago, seluruh penerbanganan menjadi kacau sehingga saya tertahan di New York sehari semalam. Sampai di rumah jam 19.00 malam Natal dan tidak bisa lagi pergi ke gereja. Di kapel rumah yang kecil itu, saya merayakan misa Natal sendirian.

Tahun ini saya menyediakan diri untuk misa di Baturetno.

Selamat Natal 2008