Friday, May 4, 2007

Perjalanan ke Denver

Sampai di Denver dengan selamat setelah menempuh perjalanan udara selama 20 jam. Dari Jakarta tanggal 30 April 2007 jam 12.45 dengan Thai Airways ke Bangkok. Sampai di airport Shuvanabumi Bangkok jam 16.00. Karena ini airport baru, maka saya tidak merasa ada di tempat yang saya kenal, kecuali bahwa saya bisa kembali berbicara dan mendengar bahasa Thai di mana-mana. Menunggu pesawat selama 3 jam, saya cuma berjalan-jalan di airpot, membaca novel yang saya bawa, dan makan kacang yang dibawakan oleh saudara saya di Tegal.


Jam 19.00 saya berangkat ke Los Angeles dengan Thai Airways menempuh perjalanan 15 jam. Benar-benar capai. Kursi terlalu sempit sehingga saya tidak bisa tidur nyenyak. Pesawat penuh sehingga saya tidak bisa mencari tempat untuk tidur terlentang. Untunglah ada banyak film disediakan sehingga saya bisa menonton film atau membaca buku. Jam 21.00 malam waktu Los Angeles (atau jam 11.00 pagi WIB tanggal 1 Mei) saya sampai di airport LA.




Antrian imigrasi begitu panjang sehingga saya antri selama 2 jam sambil terkantuk-kantuk. Mau apa lagi? Di depan petugas imigrasi saya cuma ditanya alasan pergi ke USA dan alamat di mana saya akan menetap. Sebagai pemegang passport Indonesia saya langsung diminta ke ruangan khusus. Di sana ada beberapa orang Mexico, gadis-gadis Thai, dan orang Filipina. Semua tentu “bermasalah”. Saya mendengar interograsi mereka. Yang Mexico tentu dituduh masuk secara illegal, yang Thai dituduh mau bekerja sebagai pelacur, yang Filipina dituduh mau jadi migrant worker dengan visa turis. Hehehe, saya tersenyum sendiri, saya pasti dituduh sebagai teroris nih! Setelah 1 jam menunggu giliran saya dibawa ke dalam ke suatu ruangan. Petugas imigasi sama sekali tidak ramah. Karena segala surat saya halal dan sah (apalagi karena saya terbukti sah sebagai seorang Pastor) lima menit kemudian saya langsung diperbolehkan pergi. Bagasi saya sudah dibawa ke ruangan imigrasi khusus itu. Jam 01.00 pagi saya keluar dari ruang imigrasi.

Petugas bea cukai sudah tidak ada lagi sehingga tas saya bisa dibawa ke luar tanpa pemeriksaan. Masalah muncul karena saya harus mengirimkan lagi bagasi saya ke pesawat yang akan membawa saya ke Denver (pesawat domestik). Saya mulai khawatir karena tertulis bahwa bagasi maksimal seberat 20 kg. Padahal bagasi saya total 45 kg. Wah-wah, uang sangu dari Provinsial bisa habis nih buat bayar denda! Tiga jam nongkrong di depan loket check in karena tidak ada 1 pun petugas, akhirnya jam 04.00 mereka mulai buka counter. Untunglah mereka bisa paham bahwa saya ini connecting passenger dari Bangkok sehingga saya tidak didenda.

Mulailah antri untuk pemeriksaan barang dan badan. Segala barang yang akan bunyi kalau melewati mesin saya masukan ke dalam tas. Sepatu dibuka, mata petugas melotot dan sama sekali tidak ramah. Begitu teliti dan memakan waktu. Saya mulai merasakan suasana orang Amerika. Antri memang jadi budaya, tetapi toh saya melihat 1 pemuda barat mau menyerobot antrian. Seorang ibu tua (mungkin sekitar 70 thn) langsung melotot dan memarahi pemuda itu. Lalu seorang petugas perempuan (hitam) meminta mereka yang bertiket kelas business menempati antrian khusus dan diberi prioritas untuk masuk lebih dahulu. Lama kelamaan antrian mereka ternyata tidak hanya diisi penumpang kelas bisnis, tetapi juga penumpang ekonomi. Tiba-tiba petugas perempuan itu sadar dan mulai berteriak bahwa deretan khusus itu tidak boleh dipakai. Semua orang berteriak, “tidak ada tulisan yang mengatakan bahwa kami tidak boleh antri di sini”. Perdebatan terjadi, dan perempuan hitam ini diserang habis-habisan. Kasar! Segala umpatan kotor keluar dari mulut orang-orang ini. Setelah 1,5 thn hidup di kota Solo yang begitu halus, saya tentu saja kaget, hehehe (padahal orang Tegal juga senang misuh).

Selamat melewati pemeriksaan, saya lari ke tempat boarding karena jam sudah menunjukkan jam 06.20 (boarding jam 06.30). Perut terasa keroncongan sehingga saya mampir di counter MD. Masya Allah, sepotong burger yang di Solo harganya “cuma” Rp 10.000 di sini ternyata dihargai USD 5 (Rp 45.000). Mau bagaimana lagi? Sambil berjalan saya menyantap burger itu.

Dalam pesawat United Airlines saya duduk bersama 1 bapak tua. Saat melirik novel yang sedang saya baca, tiba-tiba dia menyapa “Selamat Pagi”. Saya kaget dan mulai mengobrol dengan dia. Ternyata dia adalah orang Amerika yang mencintai Indonesia. Sudah 4 kali dia berkunjung ke Indonesia. Saya mulai merasakan keramahan orang Amerika (dibanding para petugas imigrasi dan petugas airport yang sadis-sadis itu). Satu jam berlalu dan saya mulai melihat “rocky mountain” di negara bagian Colorado. Puncaknya dilapisi oleh salju yang maha luas. Pesawat mendarat dengan mulus. Antri mengambil barang, dan bertemu dengan Romo Bill William SJ, minister komunitas baru saya, yang datang menjemput. Mengharukan! Seorang tua menjemput saya yang masih begitu imut ini, hahaha. Saya segera merasa akrab. Mengobrol selama kurang lebih 40 menit dalam perjalanan ke komunitas. Pepohonan terasa kering karena baru masuk musim semi. Jalan high way lengang. Akhirnya saya tiba di komunitas SJ di mana saya akan tinggal. Rumahnya menarik. Tentu saya harus banyak belajar karena semua peralatan di sini otomatis. Mesin cuci, mesin pengering baju, dll-dll.

Meskipun sudah 2 hari ada di sini, saya masih merasa jet lag karena perbedaan waktu 13 jam dengan Indonesia. Tadi malam saya bangun jam 01 pagi dan merasa segar, tidak bisa tidur lagi meski baru tidur 4 jam saja. Badan saya masih seperti ada di Indonesia, tetapi ternyata suasana di sini berbeda (malam terasa pagi, pagi terasa malam). Saya kemarin sudah ke universitas Regis. Melihat-lihat gedung-gedung kuno, membaca papan petunjuk di mana-mana yang begitu jelas dan informatif, bertemu dengan orang-orang yang selama ini saya kenal hanya lewat e-mail saja untuk proses registrasi saya. Untunglah saya bertemu dengan orang-orang yang sangat bersahabat, termasuk President University (di Indonesia disebut rektor universitas). Bayangkan saja, tengah berdiri membaca peta universitas, tiba-tiba pak kebon datang dan menyapa, bertanya apa yang sedang saya cari.


Komunitas saya terletak di belakang gedung perkuliahan Regis University. Kampus saya terlihat dari jendela kamar saya sehingga besok kalau kesiangan saya tinggal melompat jendela untuk kuliah. Berjalan hanya 2 menit sudah sampai di kampus.

Sekarang ini permulaan musim semi. Pohon-pohon beberapa sudah berdaun hijau, tetapi masih banyak yang kering dan belum bersemi. Suhu di sini kalau malam/pagi 5OC dan kalau siang 15OC. Tentu saya kedinginan, rasanya seperti dini hari di Tawangmangu. Kemarin tiba-tiba saya sadar bahwa saya adalah satu-satunya orang yang berjaket. Mahasiswi-mahasiswi sudah mulai memakai celana (sangat) pendek dan kaos tanpa lengan. Mungkin mereka melihat saya dengan heran seperti saya juga heran melihat mereka.

Saya sudah berhubungan dengan beberapa orang Indonesia di Denver. Besok Sabtu ada acara dengan Konsulat Jendral Indonesia di Los Angeles yang datang ke Denver. Saya tentu akan menitipkan passport saya untuk didaftar di Konsulat Jendral. Siapa tahu tertembak orang Korea di sini, setidaknya nama saya terdaftar di kantor Konsulat.


Gambar di sebelah adalah Main Hall yang dibangun abad XIX. Kelihatan (dan memang sudah) tua dan anggun. Di sinilah tempat para pejabat universitas berkantor, termasuk President Regis University.









Ini adalah Kampus Graduate Programs (Master dan Doctoral), merupakan bangunan baru, bekas SMA Regis yang pindah tempat. Di sinilah saya akan menekuni ilmu Management selama 2 tahun.









Itu dulu cerita-cerita seputar kedatangan saya di Denver. Kemajuan teknologi membuat saya tidak/belum merasa ada di luar Indonesia. Bedanya tinggal di sini cuma saya tidak bisa menemukan tempat wedangan seperti di Solo, dan tidak ada makanan seperti yang dijual Ucok.